Jumat, 06 November 2009

Nasib Orangutan

gallery

Drama ala pemain rugbi itu tidaklah terjadi di tengah rimba perawan meski pepohonan tumbuh subur dalam “sekolah hutan” di Kalimantan itu, tempat orangutan ditempa kembali naluri alamiahnya. Setelah disita atau diserahkan secara sukarela, primata-primata itu diperkenalkan kembali dengan sifat-sifat liarnya (direhabilitasi istilahnya), lalu ditampung dalam lokasi penantian—salah satunya sekolah hutan—sebelum dilepaskan kembali ke alam liarnya.

“Sejauh ini ada sekitar 1.200-an orangutan yang menunggu untuk dilepasliarkan di Pulau Kalimantan,” ujar Sri Suci Utami Atmoko, peneliti dari Asosiasi Pemerhati dan Ahli Primata Indonesia. Angka itupun belum mencakup jumlah orangutan yang ada di pusat rehabilitasi di Pulau Sumatra.
Sekilas, angka yang disebut Suci bisa jadi ukuran yang menggembirakan bagi orangutan yang berdasarkan warta survei lengkap terakhir dalam PHVA (Population and Habitat Viability Assessment) 2004 berjumlah 6.600-7.300 ekor di Sumatra dan sekitar 54.000 ekor di Kalimantan. Betapa giat dan aktifnya upaya menghentikan spesies yang dilindungi ini sebagai binatang peliharaan. Ribuan orangutan disita dari masyarakat dan pasar-pasar gelap. Orangutan selundupan yang sudah sampai di berbagai negara dibawa pulang.

Di sisi lain, ribuan orangutan di hutan singgah juga jadi isyarat adanya persoalan-persoalan lain. Luas hutan singgah harus ditambah agar para penghuninya dapat belajar menjadi orangutan liar kembali. “Namun semakin lama area ini pun semakin penuh,” ujar Dhany Sitaparasti yang meneliti perilaku orangutan pada pusat rehabilitasi yang berlokasi di Kalimantan Timur.

Kesulitan mengembalikan orangutan eks peliharaan ke alam liar atau reintroduksi bertambah karena terus berkurangnya habitat yang memenuhi syarat. Pembukaan hutan untuk perkebunan sawit secara besar-besaran terjadi di Kalimantan. Pembukaan hutan untuk perkebunan, tambang, juga transmigrasi yang tak baik pengelolaannya dan tidak memperhitungkan tata ruang membuka lebar akses manusia untuk masuk lebih jauh ke dalam hutan. Akibatnya, siklus perdagangan gelap satwa liar dapat kembali berputar. Itu belum menghitung peristiwa kebakaran hutan Kalimantan yang pada 1997-1998 misalnya yang melumat hampir lima juta hektare rimba dan membunuh sepertiga populasi orangutan kalimantan.

Perubahan-perubahan fungsi lahan tentu saja berimbas pada pencarian habitat yang cocok bagi pelepasliaran orangutan eks peliharaan. Menurut Barita Manullang, seorang ahli ekologi primata, kalaupun ada, tak semua hutan cocok untuk pelepasliaran. Yang pasti, hutan yang sudah punya penduduk asli—orangutan tentunya—tertutup rapat bagi pendatang—orangutan juga. Larangan itu sesuai dengan panduan IUCN (International Union for Conservation of Nature) agar ekosistem yang sudah ada tidak “rusak” oleh kaum pendatang.
Susahnya, hutan yang tak punya penduduk orangutan asli pun belum tentu bisa jadi rumah baru bagi kerabatnya yang eks peliharaan. ”Harus ada penelitian lebih jauh yang menyatakan sebab ketiadaan atau punahnya populasi lokal. Apakah karena diburu manusia atau akibat penyakit lokal,” ungkap Barita.

0 komentar: