Jumat, 06 November 2009

Peneliti Petakan Bakteri di Tubuh Manusia

img

Colorado, Diperkirakan ada 100 triliun mikroba yang hidup di tubuh manusia yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh, pencernaan makanan dan membantu mencegah penyakit akibat bakteri patogen. Ilmuwan telah mengembangkan peta mengenai penyebaran bakteri yang hidup di beberapa bagian tubuh manusia.

Didapatkan beberapa bakteri tersebut memainkan peranan yang penting dalam fungsi fisiologis tubuh sehingga membantu manusia tetap sehat. Tim dari University of Colorado di Boulder, Amerika Serikat, secara tak terduga menemukan variasi yang luas dalam komunitas bakteri dari orang ke orang. Penelitian yang telah dipublikasikan dalam Science Express ini bisa membantu pengembangan penelitian klinis selanjutnya.

Peneliti mengatakan kemungkinan suatu saat nanti dapat mengidentifikasi bagian tubuh mana yang memungkinkan terjadinya transplantasi mikroba tertentu yang dapat memberikan manfaat bagi kesehatan. Studi ini didasarkan analisis bakteri secara mendalam yang ditemukan pada 27 bagian tubuh dari 9 sukarelawan yang sehat. Selain itu ditemukan variasi bakteri berbeda dari tiap bagian tubuh.

"Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kadar bakteri normal dari orang sehat, yang akan memberikan pengetahuan dasar bagi penelitian lebih lanjut untuk melihat penyebaran penyakit di daerah tertentu," ujar ketua penelitian Dr Rob Knight, seperti dikutip dari BBCNews, Jumat (6/11/2009).

Peneliti mengambil empat sampel dari tiap sukarelawan selama 3 bulan, sampel diambil 1 sampai 2 jam setelah mandi. Didapatkan bagian tubuh yang paling banyak menunjukkan variasi dalam mikroba yaitu pada tempat yang tersembunyi.

Namun, sedikit sekali variasi bakteri yang ditemukan di ketiak dan telapak kaki yang kemungkinan karena daerahnya gelap dan lembab. Bagian tubuh kulit yang ikut diperiksa adalah kepala, dahi, hidung, telinga dan rambut yang didominasi oleh satu jenis bakteri tertentu.

Sebuah studi sebelumnya memeriksa bakteri dari 102 tangan manusia. Secara keseluruhan, peneliti mengidentifikasi lebih dari 4.200 spesies bakteri, tetapi hanya sekitar lima bakteri saja yang dimiliki oleh hampir 51 orang peserta.

"Jika kami dapat lebih memahami variasi dari bakteri yang ada dalam tubuh manusia, maka ada kemungkinan kami dapat mencari pertanda biologis (biomarker) dari suatu penyakit genetik," ujar Knight.

Perjuangan Suriah

gallery

Kalaulah ada saat seperti itu bagi Presiden Suriah yang sekarang Bashar al Assad, saat itu tiba beberapa saat setelah pukul 7 pagi pada 21 Januari 1994 tatkala telepon berdering di apartemen sewaannya di London. Sebagai dokter yang mendalami oftalmologi (ilmu tentang penyakit mata), Bashar yang tinggi dan berusia 28 tahun sedang menjalankan kepaniteraan medisnya di Western Eye Hospital yang merupakan bagian dari sistem Rumah Sakit St. Mary, Inggris. Ketika menjawab telepon, dia mendapat kabar bahwa kakaknya Basil ketika melaju kencang menuju bandara Damascus pagi itu dalam cuaca berkabut tebal, mengemudikan Mercedes-nya dengan kecepatan tinggi dan menabrak bundaran di tengah jalan. Basil, sosok tampan dan kharismatik yang disiapkan untuk menggantikan ayahandanya sebagai presiden, tewas seketika dalam kecelakaan itu. Saat itulah Bashar dipanggil pulang.

Kita melompat maju ke Juni 2000, bulam kematian ayahandanya Hafez al Assad akibat gagal jantung pada usia 69. Sejurus setelah pemakaman, Bashar memasuki kantor ayahnya untuk kedua kali dalam hidupnya. Dia masih ingat betul kunjungannya yang pertama, saat usianya tujuh tahun. Kala itu dia berlari riang menghampiri ayahnya dan menceritakan pelajaran bahasa Prancis yang baru pertama kali diikutinya. Bashar masih ingat melihat sebotol besar kolonye di atas lemari kecil yang ada di sebelah meja kerja ayahnya. Dia heran melihat botol itu masih ada di tempatnya 27 tahun kemudian dan boleh dikatakan tiada terjamah. Hal kecil seperti itu (kolonye yang sudah kadaluarsa) jadi gambaran tentang pemerintahan Suriah yang tertutup dan jalan di tempat, sebuah kepemimpinan diktatorial yang membuat Bashar yang terdidik untuk menyembuhkan mata manusia merasa tidak memiliki kecakapan untuk melanjutkannya.

“Ayahku tidak pernah mengajakku membicarakan masalah politik,” kata Bashar kepadaku. “Dia seorang ayah yang hangat dan penuh perhatian, tetapi bahkan ketika aku pulang pada tahun 1994, segala sesuatu yang kuketahui tentang caranya mengambil keputusan berasal dari catatan yang ditulisnya saat rapat atau aku tahu dari obrolan dengan rekan-rekannya.” Salah satu dari pelajaran itu adalah bahwa tidak seperti melakukan operasi mata, memerintah negara seperti Suriah memerlukan kemampuan untuk merasa nyaman dengan ambiguitas. Bashar yang keranjingan memotret membandingkannya dengan foto hitam-putih. “Tidak ada yang namanya hitam atau putih sejati, yang namanya bagus semua atau jelek semua,” katanya. “Yang ada hanyalah gradasi abu-abu.”
Suriah adalah sebuah tempat yang kuno, yang dibentuk oleh perniagaan dan migrasi manusia selama ribuan tahun. Namun seandainya saja setiap negara adalah sebuah potret yang tak lain dari ribuan gradasi abu-abu, maka Suriah dengan segala kekunoannya sebenarnya adalah selembar potret yang tengah menampakkan gambarnya perlahan-lahan di depan mata kita. Di Suriah kita dapat duduk dalam sebuah café yang ramai di Damaskus sambil mendengarkan seorang pendongeng berusia 75 tahun yang mengenakan fez bercerita tentang aneka hikayat Perang Salib dan Kekaisaran Ottoman seolah semua itu kenangan masa kecil. Dia mengayun-ayunkan pedangnya dengan lincah sehingga para pendengarnya membungkuk hendak berlindung—kemudian berjalanlah ke gedung sebelah, ke Mesjid Omayyad yang didirikan sekitar 715 M, lalu bergabunglah dengan anak-anak jalanan bermain sepak bola di berandanya, tidak menggubris kerumunan peziarah Iran yang datang berduyun-duyun untuk melakukan sembahyang malam atau beberapa keluarga berjalan-jalan sambil menikmati es krim. Suriah juga sebuah tempat di mana kita dapat makan malam bersama handai tolan di café modern, lalu sambil menunggu bus malam, mendengar jeritan yang mendirikan bulu roma dari jendela di lantai dua kantor polisi Bab Touma. Di jalan, penduduk Suriah saling pandang dan sama-sama maklum, tetapi tak seorang pun berkata-kata. Siapa tahu ada yang nguping.

Rezim Assad memerintah selama hampir 40 tahun bukanlah dengan gaya yang bersahabat. Rezim itu mampu bertahan di lingkungan yang keras—berbatasan dengan Irak, Israel, Yordania, Lebanon, dan Turki—dengan menggabungkan sejumlah cara yang licik dan dengan menjalin persahabatan dengan sejumlah negara yang lebih kuat, mula-mula dengan Uni Soviet dan sekarang dengan Iran. Dalam keadaan perang dengan Israel sejak 1948, Suriah memberi dukungan keuangan dan persenjataan kepada kelompok Islam Hizbullah dan Hamas; negara itu juga gigih mengklaim kembali Dataran Tinggi Golan, yakni dataran tinggi Suriah yang dikuasai Israel pada 1967. Hubungan dengan Amerika Serikat, yang hampir tidak pernah baik, semakin memburuk setelah penyerbuan A.S. ke Irak pada 2003, ketika George W. Bush, yang menyitir sikap Suriah yang menentang perang dan pemberian dukungan kepada para pemberontak Irak, mengancam untuk melakukan pergantian rezim di Damascus dan menjuluki presiden Suriah yang masih muda sebagai pangeran jahat dari Timur Tengah.

Sudah hampir satu dasawarsa sejak Bashar mulai memerintah dan cukup adil rasanya untuk menanyakan apa saja, jika ada, yang telah berubah. Juga merupakan waktu yang tepat untuk melakukan penilaian, karena Suriah—dalam menanggapi langkah-langkah awal pemerintahan baru AS yang mendambakan sukses di Timur Tengah—tampak cukup stabil untuk melanjutkan peran pentingnya dalam urusan regional. Henry Kissinger (mantan menteri luar negeri AS) pernah mengatakan bahwa tidak ada perang tanpa melibatkan Mesir dan tidak ada perdamaian tanpa mengikutsertakan Suriah, dan mungkin sekali pendapatnya itu benar. Mau tak mau, jalan menuju perdamaian di Timur Tengah ditentukan oleh Damascus. Akan tetapi, bahkan Bashar pun mengakui bahwa akan sulit bagi Suriah untuk maju tanpa menangani masalah-masalah besar di dalam negerinya.

Di luar pasar kuno Hamadiya di Damaskus pernah dipajang foto Hafez al Assad setinggi gedung tiga lantai. Tampak mencolok dengan kening tinggi dan mata setajam mata pemain poker, kepala berukuran raksasa sang presiden mengintai jalanan ibukota yang hiruk-pikuk, yang dihuni empat juta orang, sebagaimana juga yang dilakukannya dari sejumlah papan besar dan poster di seluruh Suriah. Dengan meniru masa kultus totaliter imperium Uni Soviet, ikonografi Saudara Tua tersebut selalu memberi Suriah perasaan terperangkap dalam batu ambar, terjebak dalam suatu masa di kala para diktator benar-benar diktator, era Stalin dan Mao. Inilah Suriah yang diwariskan oleh Hafez.

Sekarang di pasar yang diapit dinding kuno zaman Romawi itu terpajang sebuah papan iklan ukuran besar yang menampilkan foto presiden postmodern Suriah yang pertama sedang melambaikan tangan. Bashar ditampilkan dengan senyum riang yang tersungging di wajahnya yang mirip kucing, memicingkan mata di atas kumisnya, menatap matahari yang benderang. “Aku percaya pada Suriah,” begitulah tertulis kata-kata yang penuh keyakinan di papan itu. Namun, dibutuhkan lebih dari sekadar senyuman dan sebuah slogan untuk memperbaiki negaranya dan dia menyadari hal itu. “Yang dibutuhkan Suriah saat ini,” begitu kata Bashar kepadaku, “adalah perubahan mental.”

Nasib Orangutan

gallery

Drama ala pemain rugbi itu tidaklah terjadi di tengah rimba perawan meski pepohonan tumbuh subur dalam “sekolah hutan” di Kalimantan itu, tempat orangutan ditempa kembali naluri alamiahnya. Setelah disita atau diserahkan secara sukarela, primata-primata itu diperkenalkan kembali dengan sifat-sifat liarnya (direhabilitasi istilahnya), lalu ditampung dalam lokasi penantian—salah satunya sekolah hutan—sebelum dilepaskan kembali ke alam liarnya.

“Sejauh ini ada sekitar 1.200-an orangutan yang menunggu untuk dilepasliarkan di Pulau Kalimantan,” ujar Sri Suci Utami Atmoko, peneliti dari Asosiasi Pemerhati dan Ahli Primata Indonesia. Angka itupun belum mencakup jumlah orangutan yang ada di pusat rehabilitasi di Pulau Sumatra.
Sekilas, angka yang disebut Suci bisa jadi ukuran yang menggembirakan bagi orangutan yang berdasarkan warta survei lengkap terakhir dalam PHVA (Population and Habitat Viability Assessment) 2004 berjumlah 6.600-7.300 ekor di Sumatra dan sekitar 54.000 ekor di Kalimantan. Betapa giat dan aktifnya upaya menghentikan spesies yang dilindungi ini sebagai binatang peliharaan. Ribuan orangutan disita dari masyarakat dan pasar-pasar gelap. Orangutan selundupan yang sudah sampai di berbagai negara dibawa pulang.

Di sisi lain, ribuan orangutan di hutan singgah juga jadi isyarat adanya persoalan-persoalan lain. Luas hutan singgah harus ditambah agar para penghuninya dapat belajar menjadi orangutan liar kembali. “Namun semakin lama area ini pun semakin penuh,” ujar Dhany Sitaparasti yang meneliti perilaku orangutan pada pusat rehabilitasi yang berlokasi di Kalimantan Timur.

Kesulitan mengembalikan orangutan eks peliharaan ke alam liar atau reintroduksi bertambah karena terus berkurangnya habitat yang memenuhi syarat. Pembukaan hutan untuk perkebunan sawit secara besar-besaran terjadi di Kalimantan. Pembukaan hutan untuk perkebunan, tambang, juga transmigrasi yang tak baik pengelolaannya dan tidak memperhitungkan tata ruang membuka lebar akses manusia untuk masuk lebih jauh ke dalam hutan. Akibatnya, siklus perdagangan gelap satwa liar dapat kembali berputar. Itu belum menghitung peristiwa kebakaran hutan Kalimantan yang pada 1997-1998 misalnya yang melumat hampir lima juta hektare rimba dan membunuh sepertiga populasi orangutan kalimantan.

Perubahan-perubahan fungsi lahan tentu saja berimbas pada pencarian habitat yang cocok bagi pelepasliaran orangutan eks peliharaan. Menurut Barita Manullang, seorang ahli ekologi primata, kalaupun ada, tak semua hutan cocok untuk pelepasliaran. Yang pasti, hutan yang sudah punya penduduk asli—orangutan tentunya—tertutup rapat bagi pendatang—orangutan juga. Larangan itu sesuai dengan panduan IUCN (International Union for Conservation of Nature) agar ekosistem yang sudah ada tidak “rusak” oleh kaum pendatang.
Susahnya, hutan yang tak punya penduduk orangutan asli pun belum tentu bisa jadi rumah baru bagi kerabatnya yang eks peliharaan. ”Harus ada penelitian lebih jauh yang menyatakan sebab ketiadaan atau punahnya populasi lokal. Apakah karena diburu manusia atau akibat penyakit lokal,” ungkap Barita.

Labirin Batu Madagaskar

Labirin Batu Madagaskar
“Sepertinya ini spesies baru.”


Ini adalah kali kedua atau ketiga dia mengatakan hal seperti itu sejak kami tiba di suaka margasatwa dan taman nasional Tsingy de Bemaraha Madagaskar beberapa hari lalu. Di pulau yang masyur dengan keanekaragaman hayatinya ini (90 persen spesies di tempat ini adalah endemis, tak ditemukan di tempat lain di Bumi), kawasan lindung seluas 1.550 kilometer persegi tersebut laksana menjadi sebuah pulau terpisah, semacam benteng hayati, kokoh, hampir tak terjamah, dan nyaris tak bisa ditembus berkat formasi batu gamping raksasa—tsingy—yang membentang di dalamnya.

Di sana, blok batu besar dari periode Jura berkecai menjadi labirin menara seruncing pisau, ngarai sempit, dan gua basah yang tak bisa dimasuki manusia, walaupun tempat ini menjadi rumah bagi berbagai satwa dan tumbuhan. Spesies baru sering ditemukan dari habitat terkucil di dalamnya—tanaman kopi baru pada 1996, lemur mini pada 2000, kelelawar pada 2005, katak dua tahun kemudian. Bahkan akhir-akhir ini ditemukan hewan yang lebih besar, termasuk lemur kaki panjang (Avahi cleesei) yang ditemukan pada 1990, tetapi baru pada 2005 dinamai secara agak jenaka dengan nama pelawak sekaligus aktivis konservasi Inggris John Cleese.

Steven Goodman, seorang ahli biologi di Field Museum di Chicago yang sudah 20 tahun tinggal dan bekerja di Madagaskar, menggambarkan daerah itu sebagai “suaka di dalam surga,” tempat jenis ilmu biologi yang umum dipraktikkan seabad lalu masih dapat dilakukan, bahkan dengan berjalan-jalan saja ada kemungkinan bertemu dengan spesies yang baru.

“Isi satu lembah dengan lembah lainnya dapat saja berbeda,” ujar Goodman. “Formasi tsingy Madagaskar merupakan salah satu tempat di Bumi yang menyimpan kekayaan hayati luar biasa. Cukup masuk dan lihat apa yang ada di sekeliling.”

Masuk ke tempat itu sulit. Pada bulan Maret di akhir musim hujan, persis sebelum daun menguning dan luruh serta musim dingin mengeringkan kali kecil di hutan itu, saya dan fotografer Stephen Alvarez masuk ke dalam taman nasional tersebut. Rakotondravony bersedia memandu kami. Ini menjadi perjalanan keempatnya ke Tsingy de Bemaraha; dia salah satu dari segelintir ilmuwan yang pernah ke sana lebih dari sekali.

Sebelum itu, kami tiba di ibu kota Madagaskar Antananarivo tak lama setelah presidennya digulingkan lewat sebuah kudeta. Protes sengit berkecamuk beberapa hari sekali. Di dekat alun-alun, tentara bermalas-malasan dalam truk sambil merokok dan mengirim SMS, sementara di kampus universitas, mahasiswa yang berdemo dengan membawa spanduk putih dihalau dengan brutal. Pariwisata yang menjadi tulang punggung perekonomian Madagaskar pun nyaris runtuh. Kami meninggalkan kota itu dengan ketar-ketir kalau-kalau akan dilarang. Namun tak lama kemudian di luar kota, tanda-tanda kudeta menghilang, hanya terasa di pos pemeriksaan polisi, tempat orang-orang bersandal menenteng AK-47 tua dan menanyakan tujuan kami.

Perjalanan ke tsingy memakan waktu hampir lima hari. Setelah tiga hari perjalanan, jalan berubah menjadi kian parah hingga tinggal jalan tanah tak rata yang berlubang-lubang besar dan penuh lumpur. Lalu, kapal feri menyeberangkan kami di sungai yang airnya merah oleh erosi tanah akibat hutan di bagian hulunya digunduli. Desa-desa semakin kecil, tak ada lagi mobil, dan hutan kian merimbun. Setiap beberapa kilometer Rakotondravony melompat turun dari truk dan berlari masuk hutan. Dia kembali membawa ular besar atau kadal kesal.

Dari ujung jalan setapak di dekat sebuah desa kecil, kami mulai mendaki memasuki hutan. Setelah diguyur hujan selama beberapa bulan, tuarang panjang mulai datang. Di musim inilah banyak hewan merana, menunggu kembalinya musim hujan. Kami lalu memasang tenda di dekat kali jernih, terlihat ketam berkulit kemerahan bolak-balik di tepiannya. Dapur didirikan di bawah lereng tebing yang menjulang menembus tajuk dan, jauh di atas, terburai menjadi jarum, sirip, serta menara yang membuatnya disebut tsingy.